selamat datang.... di blog aku...

bisnis2

Rabu, 29 Agustus 2007

Pilkada Buntu, Rakyat Marah Campur Haru

Pilkada Buntu, Rakyat Marah Campur Haru

Oleh: Rumawi

Rakyat marah dan campur haru, mendengar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jepara buntu dan ditunda. Dua sikap itulah yang diekspresikan oleh sebagian rakyat Jepara.

Masyarakat yang bersikap marah direpresentasikan oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jepara. Sedang, rakyat yang bersikap haru, ditunjukkan oleh sebagian masyarakat dan rakyat kecil kepada penulis. Kelompok pertama menyatakan bahwa demokrasi diJepara telah mati, maka kelompok kedua mengungkapkan bahwa kasus di Jepara yang hanya satu calon pasang calon bupati/wakil bupati itu adalah sesuatu yang paling unik dan sangat langka terjadi di Jepara. Dengan nada yang sangat emosional, kelompok kedua ini menyatakan bangga, karena bupati sekarang tidak memiliki lawan.

Sikap kelompok pertama diblow up oleh media massa secara massif dan besar-besaran. Sedang kebanggaan kelompok kesua tidak dikenal oleh masyarakat luas, tanpa diliput oleh media. Karena kelompok terakhir ini adalah rakyat jelata yang tidak tahu seluk-beluk regulasi pemilihan bupati/wakil bupati.

Dari sekian elemen masyarakat yang terorganisir dengan mapan, hanya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jepara, yang menyatakan bahwa proses demokrasi telah mati. Para organisasi masyarakat (ormas) lainnya di Jepara, tidak/belum ada yang bersikap secara terbuka selain PMII Cabang Jepara. Di mana para ormas lainnya, apaka mereka sedang tidur/pura-pura tidak tahu? Atau, barangkali Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jepara selama ini sudah menjadi “satpam” kekuasaan pemerintah yang status quo? Ada apa dibalik sikap PMII Cabang Jepara, yang getol dan berkoar-koar tentang proses pilkada di Jepara? Sikap PMII Cabang Jepara yang menyatakan bahwa demokrasi di Jepara telah mati dan elit politik meninggalkan rakyat adalah sikap yang berlebihan dan memehami perundang-undang dengan komperehensif. Sikap koar-koar tersebut dalam perspektif Julian Benda (Daniel Dhakide; 2003), Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII) Cabang Jepara telah melakukan pengkhianatan intelektual dan pelacuran intelektual ke dalam “comberan got” pemilihan bupati/wakil bupati. Boleh saja, mereka berdalih sebagai intelektual organik, akan tetapi mereka harus berdiri tegak membela rakyat yang tertindas.

Peristiwa pemilihan bupati/wakil bupati yang buntu dan ditunda adalah proses politik yang wajar, sesuatu yang biasa dan tidak ada yang istimewa. Pernyataan Jim Schiller, pengamat social ekononomi Asia Tenggara dari Flinders University, Australia, bahwa kebuntuan dan penundaan proses pemilihan bupati/wakil bupati mengejutkan dirinya dan diluar kalkulasi analisisnya adalah pernyataan “kekanak-kanakan” yang parsial. “Kekanak-kanakan” karena dia sebagai pengamat Kaliber internasional melihat suatu peristiwa politik dengan kaca mata kuda. Dia menganalisis pemilihan bupati/wakil bupati di Jepara hanya semata-mata dalam perspektif sosio-ekonomi belaka. Dan sikap parsial, karena beliau meneropong kejadian proses demokrasi di Jepara tidak melihatkan aspek yuridis dan perundang-undangan. Sesuatu yang sangat muskil dan tidak masuk akal, jika analisis yang telah malangmelintang di Jepara itu tidak mengetahui regulasi pemilihan bupati/wakil bupati.

Aspek yuridis itulah yang dijadikan “bom peperangan” oleh PKB dan kawan-kawannya untuk mengacaukan proses tahapan pemilihan bupati. Hal itu adalah sah dan wajar. Dan secara aspek yuridis, politisi PPP dan konco-konconya tidak peka dan tidak paham mengenai seluk-beluk isi regulasi pilkada. Dari sisi inilah para politikus PPP dan koalisinya kalah dalam perspektif strategi. Maka, perlu diingat bahwa persatuan bukan menghasilkan kemenangan, akan tetapi persatuan membuahkan kerugian, minimal ketertundaannya. Ada adigium yang perlu diingat oleh siapa pun, “bersatu padu menjadi mati kutu”.

Pemilihan bupati/wakil bupati Jepara adalah sebuah mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepntingan warga Negara, khususnya rakyat Jepara. Sebagai sarana artikulasi kepentingan warga Negara, maka pemilihan bupati/wakil bupati Jepara harus menjadi jembatan yang nyaman bagi warganya. Sarana yang nyaman, paling tidak ada dua indicator. Pertama, prosedur dan proses pelaksanaan pemilihan bupati/wakil buapti sesuai dengan perundang-undangan secara utuh, dan tidak mengaplikasinnya secara sepotong-potong sesuai kepentingan sebagian elemen masyarakat. Kedua, rakyat menggunakan haknya sesuai dengan pilihannya sesuai dengan kesadarannya. Dalam konteks inilah, proses tahapan pemilihan bupati/wakil bupati Jepara telah “dinodai” oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Jepara, dengan fatwanya yang mewajibkan untuk menggunakan hak pilih warganya. Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Jepara itu adalah fatwa yang keblinger dan terkooptasi oleh kekuasaan yang satus quo. Karenanya, undang-undang dan hukum agama manapun di dunia ini yang menyatakan bahwa menggunakan hak pilih adalah wajib. Jika masyarakat dan rakyat Jepara terpengaruh dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Jepara itu, maka pemilihan bupati/wakil buapti secara kualitatif gagal dan berniali rendah, laksana comberan got. Karena masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya merasa “diteror” oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia Cabang Jepara itu.

Terkait dengan pmilihan bupati/wakil bupati Jepara, secara kualitatif ada dua tolok ukur untuk menilai sukses dan gagalnya proses dmokrasidi Jepara. Pertama, para calon bupati/wakil bupati serta para partai politik yang mengusungnya berproses dan bertindak dalam melaksanan pemilihan bupati/wakil bupati sesuai dengan perundang-undang secara utuh dan tidak secara terpotong-potong sesuai dengan seleranya masing-masing pihak. Kedua, masyarakat menggunakan hak pilihnya secara sadar, tanpa terpengaruh dengan iming-iming uang dari para calon bupati/wakil bupati, serta tanpa dipengaruhi mobilasisasi tanpa sesuai kesadaran, dan apalagi disertai “teror” fatwa wajib menggunakan hak pilih.

Jika ada pertanyaan, akankah pemilihan bupati/wakil bupati Jepara yang akan datang bermutu dan bernilai serta bermoral tinggi? Kiranya perlu untuk mendengar petuah dari Sosiolog kelahiran Spanyol, Manuel Castell, seperti disitir oleh Ade Line MT (Pustakaloka-Kompas, 21/2/2004), “Tak ada kejahatan abadi dalam sifat manusia. Tak ada yang tak dapat diubah dengan kesadaran, niat baik, tindakan social, dilengkapi dengan informasi dan didukung legitimasi….”

Rumawi, penulis/peneliti lepas, dan anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) PILKADA JEPARA, Kecamatan Bangsri Kabupaten Jepara.

Tulisan ini adalah pendapat pribadi.