selamat datang.... di blog aku...

bisnis2

Rabu, 11 April 2007

Menata Pedagang Kaki Lima dengan bijak

Oleh: MA Rumawi Eswe

Pedagang Kaki Lima atau sering disebut PKL merupakan orang-orang yang mengais rezeki di pinggiran jalan. Para pedagang kaki lima memperjualibelikan dagangan di pinggir jalan, yang menurut mereka, dianggap ramai dan strategis oleh para pembeli. Karenanya, tidak setiap ruas jalan ada mereka. Mereka terpaksa berjualan dagangan di sisi jalan. Mereka dipinggirkan secara struktural. Mereka kalah dari strukur politik ekonomi. Secara struktur politik, mereka tidak mempunyai kekuatan untuk bernegosiasi mengenai kebijakan pemerintah. Secara struktur ekonomi, para pedagang kaki lima merupakan orang tidak berdaya dan tidak didayakan. Mereka tidak diberi ruang untuk berekspresi dalam kehidupan. Kalau perlu mereka dilindas dan dibuang jauh-jauh dari peradaban kota.

Mereka tidak kuasa untuk membeli toko-toko, kios-kios apalagi ruko (rumah tokoh). Mereka tak pernah (belum?) memikirkan tempat-tempat berdagang seperti yang disebutkan tadi. Mereka hanya memikirkan bagaimana caranya untuk makan serta menghidupi keluarga hari ini dan besok hari. Mereka terdiri atas orang-orang kampung setempat, ada juga yang masih berstatus mahasiswa. Orang-orang kampung yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Untuk menghidupkan dapur keluarga, mereka menggelar barang dagangan di ruas pinggir jalan raya. Sedangkan, mahasiswa berjualan di jalan-jalan trotoar. Para mahasiswa membutuhkan biaya untuk tambahan ongkos hidup mereka.

Barang dagangan yang mereka jajakan pun sangat beragam. Mulai dari kebutuhan pokok sehari-hari, seperti makanan dan minuman, sampai pada kebutuhan sandang. Mereka yang menjajakan barang makanan dan minuman, misal di Jalan Gegayan. Sebelum, mereka digusur. Mereka yang berjualan di Jalan Gejayan ini, hanya malam hari. Untuk kebutuhan sandang, mereka berjualan pakaian seperti, switer, jaket, baju, kaos serta barang asesoris lainnya, misal kacamata, slayer, bunga terdapat di Jalan Kolombo, depan lapangan Universitas Negeri Yogyakarta.

Alasan dipergunakan untuk menggusur merekapun berbeda-beda. Para pedagang kaki lima direlokasikan dengan alasan mengganggu kelancaran lalulintas, untuk pelebaran jalan, untuk tamanisasi kota. Mereka yang digusur dengan alasan yang pertama, terjadi di depan rumah sakit Sardjito. Sedang, pedagang kaki lima yang diusir dengan argumentasi kedua, terdapat di jalan selokan Mataram. Serta mereka yang diancam gusuran dengan alasan untuk memperindah kota, sebagai tamanisasi kota terdapat di Jalan Kolombo, depan lapangan UNY. Kasus-kasus yang digusur dan diancam diusir ini, hanyalah sedikit contoh. Para pemegang kebijakan pemerintah kemungkinan akan menggusur para pedagang kaki lima di tempat-tempat lain, yang dianggap ‘liar’.

Para pedagang kaki lima mempunyai peran yang luar biasa. Mereka mampu menggerakan roda perokonomian di tingkatan akar rumput. Mereka dapat membantu pengguna jalan untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan. Para pengguna jalan tanpa harus mampir ke toko-toko untuk membeli barang yang mereka inginkan. Di samping itu, para pedagang kaki lima menjadikan jalan tidak sepi. Jalan akan ramai dan hidup, jika jalan itu ada para penjual dagangan yang dikategorikan ‘liar’ ini. Siang ataupun malam, jika jalan ada pedagang kaki lima dipastikan jalan itu ramai dan hidup serta tidak sunyi dan sepi. Mereka juga membantu pemerintah untuk mengurangi pengangguran yang menggunung. Para pedagang kaki lima tanpa diatur oleh pemerintah, dapat mengorganisir diri mereka sendiri. Mereka mencari lahan pekerjaan tanpa ditunjukan dan suruh oleh pemerintah. Mereka bisa hidup tanpa bantuan pemerintah. Keunggulan-keunggulan yang ditunjukan oleh para pedagang kaki lima inilah yang membantu pemerintah dan masyarakat luas.

Maka, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakannya untuk tidak menggusur mereka. Pemerintah harus melakukan dialog dengan pedagang kaki lima untuk menelorkan kebijakan bersama yang saling menguntungkan. Para pedagang kaki perlu diajak untuk membuat aturan yang menyangkut kelayakan hidup mereka.

Pemerintah perlu membuatkan mereka, kios-kios sederhana di tempat mereka jualan. Kios-kios sederhana itu dibangun di tempat yang tidak jauh dari tempat jualan mereka semula. Kios-kios sederhana adalah bangunan kios yang tidak mahal harga, menurut kemampuan mereka. Para pedagang kaki lima akan menolak kebijakan pemerintah. Jika mereka dibangunkan tempat yang jauh dari tempat jualan mereka sekarang. Karena para pedagang kaki lima merasa dan menemukan sendiri tempat, yang mereka anggap ramai dan layak untuk jualan. Pemerintah harus membangunkan tempat jualan mereka di sekitar tempat mereka menjajakan dagangan mereka. Pedagang kaki Lima tidak akan menolak jika pemerintah memberi dan membangun kios sederhana, tempat di sekitar mereka berdagang.

MA Rumawi Eswe, alumnus UIN Yogyakarta; pernah Pelatihan Pendampingan Masyarakat Miskin Kota oleh Urban Poor Consortium (UPC) Jakarta