selamat datang.... di blog aku...

bisnis2

Sabtu, 23 Februari 2008

YOGYAKARTA MINIATUR INDONESIA

YOGYAKARTA MINIATUR INDONESIA

Peran Kesultanan Yogyakarta dalam Mengembangkan Multukulturalisme

PROPOSAL PENELITIAN

DIAJUKAN UNTUK MENGIKUTI SELEKSI

IMPULSE FELLOWSHIP 2008 PADA INSTITUTE FOR

MULTICULTURALISM AND PLURALISM STUDIES YOGYAKARTA

MA RUMAWI ESWE

YOGYAKARTA

2008


Latar Belakang Masalah

Yogyakarta merupakan suatu provinsi yang eksoktis dan berkarkater unik. Eksoktik karena Yogyakarta menyediakan berbagai bentuk budaya etnis nusantara. Dan berkarakter unik, Yogyakarta adalah sebuah wilayah yang memiliki budaya adi luhung. Budaya jawa ini merupakan puncak pusat yang dikembangkan dan dilestarikan oleh masyarakat Yogyakarta. Yogyakarta sebagai budaya adi luhung dengan Jawa-nya yang ditandai dengan eksistensi Kesultanan Yogyakarta.

Kesultanan Yogyakarta merupakan representasi kerajaan islam di zaman modern ini. Kesultanan ini sebagai pemelihara budaya jawa yang adi luhung. Maka Yogyakarta mempunyai pelaung yang besar untuk menjadi semacam miniatur Indonesia. Pertama, Yogyakarta sebagai salah satu pusat pendidikan yang masih cukup diandalkan hingga sekarang. Kedua, Yogyakarta memiliki masyarakat yang tengang rasa yang tinggi terhadap sesama. Tenggang rasa itu bisa dimanifestasikan kepada sesama masyarakat jawa maupun kepada masyarakat pendatang dari luar jawa. Hal dapat dibuktikan dengan cerita-cerita para mantan mahasiswa yang pernah hidup di Yogyakarta. Masyarakat Yogyakarta yang memiliki kos untuk dikontakan sangat perhatian dengan anak kos. Ketiga, Yogyakarta merupakan suatu wilayah yang memiliki kekuasaan budaya maupun politik yang dikendalikan oleh kesultanan Yogyakarta. Secara budaya kesultanan Yogyakarta masih memegang peranan yang sangat penting. Kesultanan Yogyakarta masih tetap sebagai sumber inspirasi masyarakatnya.

Kesultanan Yogyakarta dan masyarakatnya memiliki peranan yang penting dalam membentuk karakter yang egaliter, mempunyai tenggang rasa dan penghargaan terhadap sesama. Budaya-budaya etnis datang ke Yogyakarta dapat hidup dan berkembang tanpa ada hambatan. Dalam konteks ini, Yogyakarta dapat dikembangkan sebagai kota multikulturalisme di Indonesia, dengan Kesultanan Yogyakarta sebagai pengayom dan pusat budaya tradisi budaya jawanya. Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”.Ada tiga terminologi yang sering digunakan secara bergantian untuk menggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagaman agama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman (diversity), dan multikultural (multicultural).

Multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama. Multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh negara, khususnya oleh Kesultanan Yogyakarta. Dalam kontek Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta sebuah pemegang pusat kebudayaan dan pengendali politik wilayah berkewajiban untuk mengakui dan menjaga eksistensi buadaya-budaya etnis yang ada di Yogyakarta.

Yogyakarta mengalami dinamika masyarakat yang signifikan. Indikasi dinamika itu berupa perubahan masyarakatnya. Cara pandang masyarakat pun berubah, seperti beberapa tulisan yang tidak memberikan rasa zaman kepada pihak-pihak lain. Misal, di beberapa rumah kos yang di depannya diberi tulisan ‘terima kos putri muslim’, di beberapa ruas jalan ada tulisan ‘ngebut benjut’. Kalimat semacam rasanya tidak enak didengar telinga dan dilihat mata oleh orang lain. Kalimat ‘terima kos putri muslim’ menandakan bahwa seseorang itu yang ingin tingal ditempat mereka harus homogen. Mereka yang beragama non-islam harus diluar dari lingkungan mereka. Kawan-kawan yang non-muslim tidak diakui eksistensinya, dengan cara tidak diperbolehkan kos di tempat yang muslim itu.

Di samping itu ada kasus konflik yang melibat etnis. Sebenarnya kasus yang melibatkan etnis-etnis di Yogyakarta bukan hal yang baru. Pada tahun 1970an ada konflik antar-etnis. Konflik itu diselesaikan dengan diselenggarakan Pentas Kesenian se-Sabang sampai Merauke. Beberapa waktu lalu terjadi perusakan asrama mahasiswa Wisma Sawergading di jalan Sultan Agung, Yogyakarta. Dalam peristiwa itu, tiga orang luka, empat sepeda motor hangus terbakar, dan tujuh sepeda motor rusak.

Kasus-kasus tersebut sangat memprihatikan karena dapat merusak kota Yogyakarta sebagai kota yang marah dan toleran. Yogyakarta sebagai sebagai pusat kebudayaan Jawa dan pusat pendidikan seolah-olah tidak nyaman untuk hidup dengan cara yang berbeda-beda. Pernghargaan terhadap gaya hidup, etnisitas dan perbedaan cara beragama seolah-olah tidak ruang untuk diakui eksistensinya.

Signifikansi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri dinamika Kesultanan Yogyakarta dan masyarakatnya dalam mengantasipasi perubahan sosial dan budaya masyarakat yang sangat cepat. Dalam penelitian juga akan melihat Yogyakarta sebagai miniaturnya Indonesia, karena di kota budaya ini heterogenitas etnis bisa hidup bersama. Terkait dengan judul penelitian bahwa Yogyakarta merupakan kota yang multi-etnisitas, multi-agama dan multi-budaya, dengan Kesultanan Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan Jawa dan pusat kekuasaan politik dalam melindungi dan mengakui perbedaan-perbedaan di atas.

Rumusan Masalah

Pertama, apa konsep multikuturalisme (perbedaan budaya, gaya hidup, etnisitas, dan agama) dalam perspektif Kesultanan Yogyakarta.

Kedua, bagaimana peran Kesultanan Yogyakarta dalam mewujudkan masyarakat multikultural (masyarakat hidup mengakui atas perbedaan-perbedaan tersebut).

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research).[1] Suatu jenis penelitian yang lebih diutamakan data-data primer di kancah laboratorium lapangan, karena untuk mencari, mengumpulkan dan memperoleh data-data primer yang terjadi di lapangan penelitian.

Penelitian ini bersifat deskriptif-preskriptif. Sifat yang pertama mempunyai arti bahwa penelitian yang meneliti sekelompok manusia, objek, set kondisi, sistem pemikiran ataupun peristiwa pada masa sekarang. Penelitian ini menghasilkan suatu gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta korelasi fenomena-fenomena.[2] Sifat yang disebut kedua memiliki arti bahwa penelitian ini menganalisis data-data yang hasil penelitian yang ditemukan dalam sifat yang pertama.

Ada dua teknik penggalian data dalam penelitian ini. Teknik penggalian data ini adalah wawancara dan dokumen.[3] Teknik pertama, wawancara adalah proses menggali data melalui percakapan dengan informan dengan menggunakan alat bantu,[4] yang memiliki maksud tertentu.[5] Alat bantu dalam penelitian ini penelitian menggunakan tape recorderd. Teknik yang disebut kedua dalam penelitian ini ialah dokumen. Dokumen adalah setiap pernyataan tertulis yang disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian peristiwa atau menyajikan akunting.[6] Dokumentasi yang diperoleh dalam penelitian adalah arsip-arsip.

Bagian penting dalam penelitian kualitatif adalah proses validasi internal. Mekanisme validasi internal adalah dengan cara men-check suatu item baru yang ”dilawankan” dengan item lainnya. Jika item-item di atas berhubungan dan signifikan, maka item-item di atas dapat disebut valid atau sahih (concurrent validity).[7] Reliabilitas data dalam penelitian adalah membuat klasifikasi data yang ditemukan dari para subyek penelitian. Data-data yang telah dikategorisasikan menurut jenisnya pengelompokan tertentu, kemudian data di atas dicross-check (dicek-silang) dengan antar-subyek penelitian.

Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis induktif. Artinya, bahwa data-data yang dikumpulkan, diolah dan dianalisis dari data-data yang bersifat khusus dan menjadi suatu data yang bersifat umum atau suatu kesimpulan.



[1] Penelitian ditunjau dari jenisnya ada dua model. Pertama, penelitian yang berbasiskan pada data-data di lapangan yang sering disebut penelitian lapangan (field research). Dan kedua, penelitian yang berbasiskan pada penelusuran pustaka dinamakan penelitian pustaka (library research). Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, cet. ke-11 (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), hlm. 11.

[2] Moh. Nazir, Metode Penelitian, cet. ke-3 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 63-64; Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. ke-1 (Bandung: Rosdja Karya, 1989), hlm. 7; Bambang, Sunggono, Penelitian Hukum: Suatau Pengantar, cet. ke-5 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 36; Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. ke-3 (Jakarta: UI Pres, 1986), hlm. 9-10; Dengan makna yang sama penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan korelasi tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat. Lihat Mely G. Tan, “Masalah Perencanaan Penelitian”, dalam Koentjaraningrat, (red.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1977), hlm. 29.

[3] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…, hlm. 137, 147, 167, 176.

[4] Moh. Nazir, Metode Penelitian…, hlm. 234; lihat juga Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum…, hlm. 220-221; Wawancara adalah satu-satunya teknik yang dapat digunakan untuk memperoleh keterangan, informasi tentang kejadian yang tak dapat diamati sendiri secara langsung oleh peneliti. Lihat, Carol R. Ember dan Melvin Ember, “Teori dan metoda Antropologi Budaya,” dalam T.O. Ihromi, (ed.), Pokok-Pokok Antropologi Budaya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 51.

[5] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…, hlm. 148; Wawancara dalam penelitian digunakan wawancara etnografis. Wawancara etnografis merupakan jenis peristiwa percakapan (speech event) yang khusus. Jenis wawancara ini sering digunakan dalam penelitian Antropologi, dengan metode etnografis. Lihat, James P. Spradly, Metode Etnografi, alih bahasa Misbah Zulfa Elizabeth, cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hlm. 71.

[6] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…, hlm. 176-179; Dokumen di atas ada dua macam, yaitu dokumen pribadi dan dokumen resmi. Dokumen pertama meliputi; huku harian, surat pribadi dan autobiorafi, kenangan-kenangan. Sedang dokumen yang disebut kemudian, meliputi dokumen internal dan dokumen ekstrenal. Dokumen internal dapat berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga, laporan rapat. Sedang dokumen eksternal berisi bahan-bahan informasi yang diterbitkan oleh lembaga. Dokumen ini dapat berupa majalah, buletin, pernyataan dan berita yang disiarkan oleh media massa. Lihat, Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumen”, dalam Koentjaraningrat, (red.), Metode-Metode Penelitian Masyarakat…, hlm. 46.

[7] Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif…, hlm. 187.

3 komentar:

Pembelajar Jogja mengatakan...

Rumawi piye kabare???

Nama blogku ini,

tolong dilink
www.nusagama.blogspot.com
www.geniusprivat.multiply.com

Ryansiip mengatakan...

tulisan lainnya mana
mosok cuman tulisan skripsi

Rumawi mengatakan...

saya lam gak kuisi... bentar aku upload lagi